Kunci bahagia adalah mawas diri. Sumber
celaka adalah terlena dan kelalaian. Tiada kenikmatan teragung melebihi
keimanan dan kema’rifatan. Tiada sarana untuk mencapainya selain kelapangan
dada. Tiada siksa terpedih selain kekufuran dan kedurhakaan. Tiada pula
pendorong padanya selain kebutaan hati oleh gelapnya kebodohan
Seorang yang punya kecerdasan rohani itu
bagai lampu lentera, laksana bintang kejora yang terang benerang menyinari
sekelilingnya, bak pohon zaitun yang tanpa tersentuh api ia akan tetap
menerangi. Orang yang tertipu dirinya sendiri itu tak ubahnya seorang yang
terjerembab ke dasar samudera yang diselimuti ombak berombak. Di atasnya awan
yang tertutup awan. Begitu gelap gulita, sehingga ia seakan tidak mampu melihat
tangannya sendiri. Mereka tidak pernah dapat cahaya dari Allah.
Seorang yang beruntung ialah orang yang
dikehendaki Allah mendapat hidayah-Nya. Sehingga Allah akan melapangkan dadanya
untuk Islam. Sedangkan al maghrur (orang yang tertipu) adalah orang yang
dikehendaki Allah kesesatannya. Sehingga hati mereka sempit terhimpit. Mereka
tidak mau membuka mata hatinya untuk menuntun jiwanya pada hidayah Allah.
Mereka lebih suka menjadikan hawa nafsu dan syetan sebagai penuntun dan
pembimbing mereka. Maka barang siapa yang di dunia ini sudah dibutakan oleh
keduannya, kelak di akherat dia akan lebih buta dan lebih tersesat.
Al Ghurur (tertipu diri sendiri) merupakan
sumber malapetaka dan kehancuran. Penyakit ini pun bisa menjerat semua
kalangan. Mulai dari yang melarat sampai pejabat, dari yang ahli maksiat sampai
yang ahli tirakat. Begitu banyaknya orang yang bisa terkena virus ini sehingga
Imam Ghozali kemudian mengkelompokkan mereka menjadi empat kelompok. Yaitu: 1).
Kelompok ulama, 2). Kelompok ‘ubbad, 3). Kelompok sufi, dan 4). Kelompok orang
berharta.
Dari keempat kelompok di atas itu semua
mempunyai ghurur yang berbeda satu sama lainnya. Sebagian mereka ada yang
menganggap sesuatu yang munkar itu sebagai kebaikan, seperti seorang yang
membangun dan memperindah masjid dengan memakai uang haram. Ada pula dari
mereka yang masih belum tahu betul sebenarnya untuk siapa mereka bekerja dan
beribadah. Apakah untuk hawa nafsunya ataukah untuk Allah swt. Sebagian lain
ada yang rela meninggalkan santan dan rela dengan hanya kulit kelapa. Seperti
halnya orang yang ketika sholat hanya disibukkan dengan manfashihkan bacaannya
namun dia melupakan rukun-rukun yang lainnya.
Kehinaan, Esensi, dan Tamtsil Ghurur
“Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu
sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh
angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu
terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu.” Demikian arti dari firman
Allah QS. Al Hadid 14.
Al Ghurur sangat identik dengan kebodohan. Karena dari sanalah muara semua bentuk cikal bakal segala malapetaka. Ghurur merupakan ungkapan akan keberpihakannya hati untuk lebih memilih bersekongkol dengan nafsu dan syetan yang banyak menampilkan muslihat kerusakan daripada mengikuti apa kata hati nuraninya yang selalu membisikkan kebenaran. Sehingga orang yang terpengaruh penyakit ini akan selalu membenarkan argumen nafsu-syetan, meskipun sebenarnya keliru.
Al Ghurur sangat identik dengan kebodohan. Karena dari sanalah muara semua bentuk cikal bakal segala malapetaka. Ghurur merupakan ungkapan akan keberpihakannya hati untuk lebih memilih bersekongkol dengan nafsu dan syetan yang banyak menampilkan muslihat kerusakan daripada mengikuti apa kata hati nuraninya yang selalu membisikkan kebenaran. Sehingga orang yang terpengaruh penyakit ini akan selalu membenarkan argumen nafsu-syetan, meskipun sebenarnya keliru.
Tidak sedikit manusia yang terkena penyakit
ini. Bahkan bisa dikatakan merata pada semua lini. Namun penyakit ini sangat
bervariasi dan bertingkat-tingkat. Tingkatan yang paling parah adalah ghururnya
seorang kafir, lalu ahli maksiat, disusul kemudian orang-orang fasiq.
Sebagian besar orang kafir tertipu oleh
masalah-masalah duniawi dan tertipu dengan dzatnya Allah. Tertipunya mereka
dalam masalah duniawi dapat dilihat dari keberadaan mereka di dunia ini yang
lebih suka mengumpulkan materi duniawi dan melalaikan masalah ukhrowi. Bagi
mereka dunia adalah kenyataan yang sedang mereka hadapi dan merupakan sebuah
kepastian. Sedangkan akhirat bagi mereka masih semu dan tidak nyata.
Dalam benak mereka, “Buat apa mencari
sesuatu untuk hal-hal yang masih tidak jelas keberadaannya.” “Sesuatu yang
sudah pasti (yakin) saat sekarang ini (dunia) itu lebih baik dari pada sesuatu
yang tidak pasti (syak) di kemudian hari (akherat).”
Untuk menangani penyakit ini ada dua alternatif pengobatan. Pertama, memberikan keyakinan akan kebenaran iman kepada Allah. Kedua, memberikan bukti konkrit akan kebenaran keimanan kepada Allah dan semua anggapan mereka sangat salah dan keliru.
Untuk menangani penyakit ini ada dua alternatif pengobatan. Pertama, memberikan keyakinan akan kebenaran iman kepada Allah. Kedua, memberikan bukti konkrit akan kebenaran keimanan kepada Allah dan semua anggapan mereka sangat salah dan keliru.
Penanganan dengan cara yang pertama,
artinya orang tersebut harus memiliki keyakinan seyakin-yakinnya akan kebenaran
firman Allah dalam QS. Al Nahl 96 yang artinya, “Apa yang di sisimu akan
lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” Dan cara inilah yang
dipakai oleh Nabi Muhammad saw. untuk menaklukkan jiwa-jiwa materalistis yang
dimiliki kabilah-kabilah Arab masa itu. Bahkan mereka tidak meminta dalil-dalil
yang melebihi akan hal itu.
Penanganan dengan cara yang kedua artinya dengan memberi pengertian bahwa apa yang ada dalam benak mereka itu salah. Logika-logika yang menjadi pembenar argumen mereka adalah rekayasa dan muslihat syetan untuk mengelabuhi mangsanya. Analogi yang diberikan syetan sebagaimana dalam anggapan mereka itu mencerminkan dua hal:
Penanganan dengan cara yang kedua artinya dengan memberi pengertian bahwa apa yang ada dalam benak mereka itu salah. Logika-logika yang menjadi pembenar argumen mereka adalah rekayasa dan muslihat syetan untuk mengelabuhi mangsanya. Analogi yang diberikan syetan sebagaimana dalam anggapan mereka itu mencerminkan dua hal:
1.
Dunia
adalah kenyataan sekarang dan akherat adalah kenyataan di masa yang akan
datang. Pemikiran ini sangat benar.
2.
Kenyataan sekarang (dunia) itu lebih baik dari
pada kenyataan yang akan datang (akhirat). Pemikian inilah yang sangat salah.
Memang, kalau yang dihasilkan pada saat
sekarang itu nilai dan kadarnya sama dengan apa yang akan dihasilkan pada masa
yang akan datang, maka masa sekarang itu lebih baik dari masa yang akan datang.
Namun kalau yang dihasilkan pada masa sekarang itu nilai lebih kecil dari pada
masa yang akan datang, maka masa sekarang sangatlah tidak lebih baik dari pada
masa yang akan datang. Dan inilah hakekat akhirat sebenarnya.
Logikanya, ketika seseorang berdagang tentu
pada saat tersebut dia akan mencurahkan segenap tenaga, waktu dan pikiran guna
mendapatkan laba yang banyak di kemudian hari. Juga seorang pasien yang
dilarang oleh dokter untuk mengkonsumsi makanan tertentu agar di kemudian hari
dia tidak jatuh sakit, si pasien pasti mengikuti apa kata dokternya tersebut.
Dari kedua contoh di atas jelas tergambar
bahwa baik si pedagang dan si pasien keduanya rela berkorban apa pun pada saat
itu dengan harapan agar keduanya bisa lebih baik di kemudian hari. Jelasnya,
pengorbanan mereka adalah sesuatu yang nyata. Dan keinginan dari jerih payah
mereka tersebut adalah merupakan hal yang masih belum pasti berhasil. Namun
demikian mereka masih tetap rela melakukannya. Walhasil, masa depan bagi mereka
meskipun masih belum jelas wujudnya itu masih lebih baik dari pada saat ini,
meskipun sudah jelas.
Dalam situasi demikian biasanya syetan
membuat analogi kedua, “Sesuatu yang pasti (yaqin) itu lebih baik dari sesusatu
yang tidak pasti (syak).” Ini pun sangat salah. Buktinya pengorbanan pedagang
tersebut adalah sesuatu yang nyata (yaqin) dan laba yang dia harapan adalah hal
yang belum jelas (syak). Energi yang dibutuhkan seorang pemburu itu juga
sesuatu yang nyata. Namun hasil buruan yang dia impikan itu masih dalam tanda
tanya. Pahit yang dirasakan seorang pasien ketika minum obat itu jelas dan
nyata. Tetapi kesembuhan yang dia idam-idamkan itu masih sangat meragukan.
Yang perlu diluruskan adalah tentang
anggapan mereka, “Akherat itu belum pasti (syak).” Hal ini sangat luar biasa
salahnya. Karena ini merupakan prinsip dan ideologi seorang mukmin. Dalam hal
ini kesalahan mereka dapan diluruskan melalui dua pengertian. Pertama, keimanan
dan mentasdiqkan (membenarkan) hal tersebut (kenyataan akherat) adalah sebagai
bentuk taqlid (ikut) kepada para nabi dan ulama. Keimanan dengan model demikian
memang identik dengan keimanan seorang awwam. Namun demikian ia bisa mengikis
habis perasaan ghurur yang muncul.
Mereka tak ubahnya seperti pasien yang
tidak tahu obat penyakitnya. Sehingga dia akan menurut saja pada resep dokter.
Dia tidak pernah punya keraguan akan benar tidaknya resep tersebut. Karena
baginya mereka sudah punya kredibilitas tinggi dan resep yang mereka buat itu
sudah berdasar konsensus (ijma’) tim medis. Sehingga keraguan akan kemampuan
dokter dengan sendirinya akan hilang. Dan jika dalam kondisi demikian dia masih
tidak percaya pada dokter dan lebih mempercayai dirinya atau bahkan tukang
sampah yang tidak mengerti apa-apa tentang ilmu kedokteran, maka dialah
hakekatnya seorang yang tertipu akan kebodohannya sendiri.
Begitu pula tentang keimanan pada akhirat
karena ikutan (taqlid) kepada anbiya dan ulama. Mereka adalah makhluq-makhluq
Allah yang mempunyai hubungan khusus dengan-Nya. Kapabilitas dan kredibilitas
mereka tidak perlu diragukan lagi. Mempercayai apa yang mereka sampaikan itu
sejatinya dengan sendirinya bisa memberhangus keraguan akan ada dan tidaknya
akherat. Maka seorang yang tidak mempercayai mereka sehingga kemudian dia lebih
percaya pada dirinya atau nafsu-syetannya yang secara haqqul yaqin mereka
tidaklah lebih tahu tentang akhirat dari pada para nabi dan ulama, maka
merekalah hakekat sebenarnya seorang yang terperdaya oleh ketololannya.
Yang kedua, keimanan pada akhirat dengan
didasarkan pada wahyu yang diterima oleh para nabi atau wahyu yang didapat oleh
pada wali. Artinya mereka itu bisa mengetahui masalah-masalah ukhrowi maupun
duniawi itu semua adalah dengan jalan mukasyafah dan musyahadah (melihat
langsung).
Meskipun pada dhahirnya mereka mendapatkan
itu melalui wahyu yang disampaikan (diperdengarkan) oleh Jibril. Karena memang
logikanya seorang yang mengetahui seseuatu dengan jalan mendengarnya dari orang
lain maka pengetahuannya tidaklah lebih baik dari orang yang memberitahu. Namun
itu tidak berlaku bagi anbiya dan auliya. Karena sekali lagi mereka mendapatkan
segala macam pengetahuan secara mukasyafah dan musyahadah. Seperti halnya seseorang yang tahu akan sesuatu karena dia menyaksikannya langsung, maka ketika dia menceritakan hal tersebut pada orang lain, dia akan bisa bercerita dengan jelas dan detail. Maka anbiya sudah menjadi keharusan untuk lebih dipercaya dari pada yang lain. Termasuk apa yang disampaikan tentang adanya akhirat.
segala macam pengetahuan secara mukasyafah dan musyahadah. Seperti halnya seseorang yang tahu akan sesuatu karena dia menyaksikannya langsung, maka ketika dia menceritakan hal tersebut pada orang lain, dia akan bisa bercerita dengan jelas dan detail. Maka anbiya sudah menjadi keharusan untuk lebih dipercaya dari pada yang lain. Termasuk apa yang disampaikan tentang adanya akhirat.
Tertipu Dzatnya Allah
Tertipu dengan dzatnya Allah itu bisa
terjadi pada orang-orang mukmin juga kafir. Seorang mukmin biasanya beranggapan
bahwa keimanan yang dimilikinya itu sudah cukup untuk mengantarkan dirinya pada
ampunan Allah. Ia tidak menyadari bahwa itu adalah bentuk penipuan terhadap
dirinya sendiri.
Allah Maha Pengampun. Itu memang sangat
benar. Semua orang mukmin juga pasti diampuni Allah. Itu juga benar. Yang tidak
benar adalah jika beranggapan bahwa dengan keimanan saja itu sudah cukup untuk
mendapatkan maghfirohnya Allah. Karena yang perlu dicatat adalah bahwa di dalam
Al Qur’an semua janji Allah untuk memberikan ampunan kepada seorang mukmin
adalah apabila dia juga mau beramal sholeh. Tidak hanya berbekal keimanan saja.
Hasan M (http://langitan.net/?p=223#more-223)